Kamis, 12 November 2015

Budaya Tulungagung

Budaya Tulungagung

Di Jawa Timur, seni ini akrab dengan masyarakat di beberapa daerah, seperti Malang, Nganjuk, Tulungagung, dan daerah-daerah lainnya.
Memandang sekilas kabupaten Tulungagung merupakan daerah kecil yang tidak bergaung di tingkat nasional, tetapi dibalik itu kabupaten Tulungagung sebenarnya daerah yang menyimpan pesona keindahan alam yang apik dan pantas untuk dinikmati. Di Tulungagung mempunyai banyak kesenian yang cukup unik dan menarik diantaranya adalah manten kucing, ritual tiban, jaranan, reog gendang, jemparing, kentrung, dan waranggana.
Dalam bahasan kali ini kami akan mncoba menyajikan salah satu kesenian yang cukup unik dan menarik srta banyak diminati masyarakat yang tidak hanya berasal dari Tulungagung melainkan juga dari luar daerah yaitu jaranan. Dalam sejarahnya jaranan merupakan tarian yang menggambarkan perjuangan pangaran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda, perjuangan raden Patah yang dibantu Sunan Kalijaga dalam menghadapi penjajah Belanda, mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I beseta raja Mataram untuk menghadapi pasukan Belanda.
Jaranan biasanya dipertunjukkan pada acara-acara seperti penyambutan petinggi daerah, syukuran, acara keluarga, bahkan pada saat memperingati hari besar kenegaraan. Di Tulungagung jaranan merupakan kesian daerh yang begitu merakyat jadi bagi masyarakat disana bila mengadakan suatu acara tidak lengkap jika tidak mempertunjukkan jaranan.
Jaranan sendiri mempunyai banyak jenis, diantaranya adalah jaranan senterewe, jaranan campursari, jaranan pegon, jaranan jawa. Di Tulungagung sendiri jaranan yang biasanaya dipertunjukkan adalah jaranan campur sari. Perlengkapan jaranan ada beberapa jenisnya dianataranya adalah gandang, kenong, gong, slompet, kostum dan aksesoris, serta kuda-kudaan.
Dalam setiap pagelarannya, tari Kuda Lumping ini menghadirkan 4 fragmen tarian yaitu 2 kali tari Buto Lawas, tari Senterewe, dan tari Begon Putri.
Pada fragmen Buto Lawas, biasanya ditarikan oleh para pria saja dan terdiri dari 4 sampai 6 orang penari. Beberapa penari muda menunggangi kuda anyaman bambu dan menari mengikuti alunan musik. Pada bagian inilah, para penari Buto Lawas dapat mengalami kesurupan atau kerasukan roh halus. Para penonton pun tidak luput dari fenomena kerasukan ini. Banyak warga sekitar yang menyaksikan pagelaran menjadi kesurupan dan ikut menari bersama para penari. Dalam keadaan tidak sadar, mereka terus menari dengan gerakan enerjik dan terlihat kompak dengan para penari lainnya.
Untuk memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan, dalam setiap pagelaran selalu hadir para datuk, yaitu orang yang memiliki kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui baju serba hitam yang dikenakannya. Para datuk ini akan memberikan penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih.
Pada fragmen selanjutnya, penari pria dan wanita bergabung membawakan tari senterewe.
Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai, enam orang wanita membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup dari seluruh rangkaian atraksi tari Kuda Lumping.
Seringkali dalam pertunjukan tari Kuda Lumping, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.
Dengan mengatahui begitu unik dan menariknya kesenian daerah yang ada pada daerah kita masing-masing sebagai generasi penerus yang berilmu kita wajib melestarikan budaya yang telah diwariskan kepada kita sebagai harta yang paling berharga untuk kita miliki dan banggakan.

Ciri khas Tulungagung


Di daerah asal saya, yaitu Tulungagung, yang namanya ngopi dan nyethe adalah hal yang nggak bisa dipisahkan. Pengertian nyethe sendiri adalah mengoleskan endapan kopi ke rokok. Kopi untuk nyethe ini disebut dengan kopi cethe. Di Tulungagung, warung yang menawarkan menu kopi cethe ini banyak sekali, sehingga Tulungagung juga terkenal dengan kota warung kopi cethe.
Kopi yang digunakan untuk nyethe ini memakai bubuk kopi yang sangat halus. Untuk merekatkan endapan kopi yang halus tersebut ke rokok, ditambahkan sedikit susu cair. Biasanya rokok yang di cethe membentuk motif. Motifnya pun macam – macam, mulai sulur, tulisan, tribal bahkan tokoh pewayangan juga bisa di cethe di rokok. Sehingga nyethe bisa juga di sebut batik rokok.
Sejarah nyethe sendiri sebenarnya bermula ketika para petani selesai bekerja dari sawah, kebiasaan mereka akan mampir di warung untuk ngopi dan bertemu dengan sesama petani lain untuk sekedar bercengkerama maupun mendiskusikan hal-hal seputar pertanian mereka. Nah, sambil ngopi dan ngobrol, sesekali rokok yang di hisap diolesi dengan endapan kopi yang ada di cawan. Kopinya pun tidak sehalus yang ada seperti sekarang ini atau masih kasar. Endapan kopi yang dicethekan ke rokok dan terbakar menimbulkan sensasi tersendiri. Hal ini menambah nikmatnya ngopi sambil ngobrol di warung kopi.
Sekarang, kopi yang dipakai cethe lebih halus, sehingga memungkinkan untuk digunakan nyethe dengan membentuk motif. Hasilnya pun sangatlah unik. Banyak teman saya yang berasal dari luar Jawa Timur pada umumnya, kagum dan terheran-heran mengetahui rokok yang bisa di batik menurut mereka. Yang ngopi sambil nyethe pun sekarang juga berragam, mulai dari petani, tukang becak, makelar, mahasiswa, pengangguran, anak SMA, bahkan pejabat. Tertarik ke dengan kopi cethe dan nyethe rokok? Datang saja ke Tulungagung.

sumber : google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar